Teori evolusi tentang seleksi alam, tampaknya lebih berlaku pada bahasa. Sejumlah bahasa ibu atau behasa daerah di banyak Negara, mulai punah seiring meninggalnya para penutur bahasa itu.
Marie Smith Jones merupakan salahsatu contohnya. Jones (89 tahun), wanita berdarah Indian yang meninggal pada 21 Januari 2008 ini merupakan penutur terakhir bahasa Eyak, bahasa suku yang mendiami wilayah selatan Alaska, Negara bagian amerika Serikat.
Sepeninggal Jones, bahasa Eyak tak lagi dituturkan, meskipun Universitas Alaska telah menyusun kamus bahasa Eyak. Jauh sebelum Jones, Bahasa Manx di Isle of Man, Inggris, lenyap pada 1974 setelah Ned Maddrell, penutur terakhir bahasa itu meninggal.
Lenyapnya bahasa-bahasa dunia, tak hanya dialami Eyak dan Manx. Bahasa Ubykh di turki menghilang karena penutur terakhir bahasa itu, Tevfik Esenc, meninggal pada 1992. Di Perancis, 13 bahasa telah masuk dalam kategori terancam.
Yang terparah di Afrika. Hampir du pertiga bahasa di dunia, digunakan di kawasan sub-Sahara Afrika. Dan 10 persen diantaranya diperkirakan punah satu abad mendatang.
Saat Hari Bahasa Ibu Internasional, 21 Februari 2009, Organisasi PBB di Bidang Pendidikan, Sains, dan Budaya (UNESCO) merilis, sekitar 2.500 bahsa di dunia, termasuk bahasa-bahasa daerah di Indonesia, kini terancam punah.
UNESCO menyebutkan, jumlah bahasa yang dipakai di Indonesia, India, AS, Brasil, dan Meksiko–Negara yang banyak memiliki kekayaan ragam bahasa–mengalami ancaman kepunahan yang cukup besar.
Atlas teranyar UNESCO tentang “Bahasa-bahsa dalam Bahaya” mengklasifikasikan lima tingkatan keterancaman bahasa: level tidak aman, terancam, sangat teranca, kritis, hingga benar-benar telah punah.
Atlas yang disusun oleh 30 ahli bahasa itu mengungkapkan, sebanyak 200 bahsa telah punah dalam tiga generasi terakhir. Sebanyak 538 bahsa masuk level kritis (hamper punah), 502 sangat terancam, 632 terancam, dan 607 tidak aman. Saat ini di dunia tersisa sekitar 6.700 bahasa.
Sebanyak 200 bahasa kini hanya memiliki penutur kurang dari 10 orang, 178 lainnya hanya 10-50 penutur. Kepunahan bahasa di setiap kawasan pun dimulai. Meski, tidak semua Negara memiliki tingkat keterancaman yang sama.
Seperti halnya Papua Nugini. Negara yang memiliki keragaman bahasa terbesar di planet ini–lebih dari 800 bahasa dijadikan alat bertutur–hanya 88bahasa yang dalam bahaya. Hal yang juga menggembirakan adalah bahasa Cornish di Inggris dan Sishe di Kaledonia Baru. Bahasa yang terancam punah itu kini sedang direvitaliasi dan berpotensi hidup kembali.
Kebijakan sejumlah Negara untuk memperbanyak penutur bahasa pribumi diharapkan UNESCO dapat mengurangi lenyapnya alat pengantar budaya dan pengetahuan itu dari bumi.
Seperti, bahasa Aymara dan Quechua di Peru, Maori di Selandia Baru, Guarani di Paraguay, dan bahasa-bahsa pribumi lain di Kanada, AS, dan Meksiko.
Namun, tren punahnya bahsa-bahsa di dunia, jelas mengkhawatirkan banyak pihak. “Punahnya suatu bahasa menyebabkan hilangnya berbagai bentuk warisan budaya, khususnya warisan tradisi dan ekspresi berbicara masyarakat penuturnya. Mulai dari sajak-sajak dan cerita hingga peribahasa dan lelucon-lelucon,” kata Direktur UNESCO, Koichiro Matsuura, di laman UNESCO.
Punahnya bahasa-bahasa itu, lanjutnya, juga telah merebut keanekaragaman manusia, yang telah menyebarkan banyak pengetahuan tentang alam dan semesta. Bahkan, mantan presiden Perancis, Jacques Chirac, pernah menyatakan ancaman kepunahan bahasa di sunia itu sebagai a major risk of humanity, musibah besar bagi kemanusiaan.
Di IndonesiaBagaimana dengan di Tanah Air? Dari 746 bahasa daerah, 169 diantaranya terancam punah karena jumlah penuturnya kurang dari 500 orang. Dalam catatan Kepala Pusat Bahasa Depdiknas, Dendy Sugono, di Papua ada sembilan bahasa yang punah dan Maluku Utara satu bahasa.
Di Papua, rinciannya: bahasa Bapu, Darbe, dan Wares (Kabupaten Sarmi); Taworta dan Waritai (Jayapura); Murkim dan Walak (Jayawijaya); Meoswar (Manokwari); Loegenyem (Rajaampat). Di Maluku Utara yang punah adalah bahasa Ibu.
Adapun yang berpotensi punah di Papua berjumlah 32 bahasa. Ini karena julah penutur bahasa itu antara duasamapi 100 orang. Rincian bahasa yang terancam punah: di Sarmi (10 bahasa), Jayapura (enam), Waropeng (tujuh), Jayawijaya (tiga), Merauke (satu), Paniai (satu), Teluk Wondana (dua), sorong Selatan (satu), dan Fakfak (satu).
Satu bahasa Maluku Utara yang terancam punah adalah bahasa Kau. “Itu baru sebagian di wilayah Indonesia timur, belum di bagian barat dan tengah,” katanya.
Punahnya bahasa daerah, papar Dendy, adalah proses alami. Di antara PENYEBABnya adalah tiadanya penutur akibat bencana alam dan perikahan antaretnis. “Mereka menggunakan bahasa Indonesia dalam sehari-hari senagai pengantar.”
Pusat Bahasa, ujar Dendy, sudah membakukan 405 ribu istilah dalam 91 ribu kata umum yang merupakan serapan dari bahasa daerah dan bahasa asing. Saat ini, bahsa ibu dengan kategori sedikit–anata 100 hingga 100ribu peutur–memang cenderung punah.
Sejak 1974, ungkapnya, Pusat Bahasa telah meneliti 442 bahsa daerah. Saat ini, lebih ari 300 bahasa daerah diteliti kembalai, seperti di Maluku Utara, Maluku, Irian Jaya Barat, Papua, dan NTT. “Target kami, pada 2014, penelitian dan pemetaan bahsa di Indonesia bisa selesai.”
Agar tidak pelan-pelan lenyap, pengguanaan bahasa daerah haru digiatkan, terutama dikalangan penuturnya. Sebab, punahnya bahsa daerah juga berarti hilangnya sebagian kebuadayaan dan nilai serta kearifan lokal yang terkandung didalamnya. “Anak-anak muda telah meninggalkan bahsa ibunya. Ini memang tak lepas dari pengaruh globalisasi,” katanya.
Pakar lingistik dari Departemen Linguistik, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia,Multamia MRT Lauder, berpendapat, pemerintah dan masyarakat penuturnya harus punya kemauan kuat menyelamatkan bahasa daerah.
“Ada baiknya bahsa itu diolah menjadi buku dan mulai diajarkan sebagai materi ajar muatan lokal, sehingga bahasa dan budaya ang terncam punah itu mulai dikenal lagi oleh generasimuda.”
Oleh Nur Hasan Murtaji, Endro Yuwanto
Republika, 5 maret 2009, hlm 1