TERNYATA orang Jawa tidak menyukai perubahan yang ekstrem. Ini dikatakan dosen Fakultas Psikologi UGM, Drs. Dalol Adisubroto. Pandangan di atas, menurut Dalil, tidak lepas dari sikap budaya manusia Jawa yang tidak suka mngkritik atau menyerang orang lain. “Sebab orang Jawa lebih mementingkan keseimbangan atau Harmoni”, kilah Dalil dalam ujia promosi untuk memperoleh derajat doktor di bidang psikologi, kemarin, di Balali Senat UGM. Promovendus itu mengajukan disertasinya, “Orientasi Nilai Orang Jawa Serta Ciri-ciri Kepribadiannya”.
Kekuasaan
Dalil yang lahir di Jawa Tengan 4 Januari 1939 itu dalam disertasinya mengatakan orang Jawa relatif lebih tinggi dalam orientasi nilai teoritis atau nilai ilmu pengetahuan dibanding lima nilai yang lain. “Mereka lebih tinggi dalam orientasi nilai politis. Yakni meghormati kedudukan atau kekuasaan. Mereka juga relatif lebih tinggi dalam orientasi nilai ekonomi. Yakni dengan menghargai waktu dan kemanfaatan praktis dari segala sesuatu” ujar Dalil.
Tetapi, ujarnya, dibalik kelebihan orang Jawa itu, dalam tiga nilai di atas, orang Jawa relatif rendah dalam nilai sosial, religius dan estetik.
Dikatakannya, dalam hal perilaku, Orang jawa relatif hidup teratur rapih, serba terencana termasuk taat pada aturan. Mereka juga relatif tekun bekerja keras dan punya tanggungjawab yang tinggi. “Mau mengakui bersalah kalau memang salah,” ujarnya.
Sikap positif lainnya ialah, orang Jawa relatif suka menolong orang lain yang susah dan memiliki dorongan untuk berprestasi dalam setiap usahanya.
“Di sisi lain, orang Jawa relatif rendah dalam kebutuhan “heterosexuality”. Maksud saya, mereka rendah dalam dorongan untuk bergaul bebas antara pria dengan wanita . mereka juga relatif kurang senang dengan kebebasan yang ekstrem tanpa menghargai orang lain,” kilah anak keluarga petani ini.
Bekas guru Sekolah Rakyat I Karangjati Kroya, Cilacap ini juga menilai orang Jawa tidak senang menyerang atau mengkritik orang lain. Juga tidak senang menonjolkan diri. Dan relatif tidak suka dengan perubahan yang eksrem. Ini tidak lepas dari pandangan hidup orang Jawa yang mementingkan keseimbangan (harmoni). Untuk itu orang Jawa cenderung menolak konflik.
Asal kumpul
Menyinggung tentang kebersamaan, ternyata kini sudah terjadi dalam diri orang Jawa. Anggapan “mangan ora mangan angger kumpul” (makan tidak makan asal kumpul) kini sudah mulai pudar. Yang terjadi justru kebalikannya. “Kumpul ora, kumpul angger mangan” (kumpul tidak kumpul asal makan). Di sini yang berbicara adalah tuntutan praktis, yakni bagaimana orang Jawa mampu mencukupi dirinya. Aspek individu lebih menonjol dari-pada kebersamaan. “Pragmatisme yang makin kuat ini mengancam kebersamaan”, ujar bapak tiga anak ini.
Makin mencarirnya kebersamaan ini sangat mempengaruhi pandangan dan sikap hidup Orang Jawa, di mana segi kebersamaan merupakan komponen penting selain harmoni (keseimbangan) dalam budaya Jawa.
Dengan disertasinya Ia dinyatakan lulus dengan predikat memuaskan. Bertindak sebagai promotor Prof. Dr. Sumandi Suryabrat, MA Ps. S. Promosi ini mendapat perhatian dari Prof. Dr. HA Mukti Ali dan Kajti DIY HR Djoko Moelyo SH.
“Disertasi ini pasti akan mendapat tanggapan yang keras dari masyarakat Jawa, karena hasil penelitian Dalil agak kontroversial dengan teori lama tenteng masyarakat Jawa,” ujar Dr. Djamaludin Ancok, dosen Fakulatas Psikologi UGM. (MK-Ind.Maks).
Soepono, Srie Saadah dan F.X. Tito Adonis. 1989. Dampak Perkawinan Campuran Terhadap Tatakrama Daerah Studi kasus Pada Komuniti Perkotaan Di Yogyakarta. Jakarta: Depdikbud
0 comments:
Post a Comment