Sobat Nida, di era 70-an sampai 80-an, komik Indonesia mengalami kejayaan. Judul-judul seperti Gundala Putra Petir, Jaka Sembung, maupun Carok, jadi bacaan bergambar terpopuler kala itu. Tidak heran bila, pada saat itu, anak-anak begitu tertarik dengan komik Indonesia. Selain karena media televisi dan radio masih dirasa awam bagi masyarakat, cerita-cerita tersebut sangat menarik dan menghibur. Bagaimana dengan kondisi perkomikan di Indonesia saat ini? Apakah komik lokal masih memegang kendali?
Nggak Mati Kok
Kini, lebih banyak beredar komik-komik impor Jepang atau Amerika di Indonesia. Komik-komik ini tentunya menarik minat masyarakat, terutama kalangan anak-anak dan remaja. Akibatnya? Komik Indonesia mulai tak dikenal dan ditinggali oleh para pembaca. Jika anak-anak dan remaja Indonesia ditanya soal judul atau tokoh-tokoh dari komik lokal, mungkin hanya beberapa di antara mereka yang tahu dan yang pernah membacanya. Kebanyakan dari mereka lebih mengenal komik-komik luar negeri yang sudah diadaptasi ke dalam bahasa Indonesia. Hal ini membuktikan, secara spesifik, bangsa kita telah terjajah lagi oleh bangsa asing. Tidak secara fisik memang, namun diserang lewat budaya. Dan salah satunya gempuran itu bernama komik.
Jalan cerita komik impor, yang menurut banyak orang jauh lebih baik dari buatan Indonesia, diakui sebagai salah satu faktor yang memaksa komik lokal bertekuk lutut. Komik-komik seperti Naruto, One Piece, Death Note, dan serial cantik menyedot minat masyarakat muda saat ini. Sebaliknya, masyarakat nggak kenal dengan komik asal negeri sendiri. Meskipun banyak komikus berbakat, begitu juga dengan sejumlah karya komik yang sudah didistribusikan di toko-toko buku terkemuka, komik Indonesia masih belum memiliki tempat. Padahal, bila dilihat lebih rinci, sebenarnya komikus Indonesia memiliki kreativitas yang sudah berkembang dengan sangat baik. Bukan hanya membuat gambar yang layak, juga imajinasi cerita yang memiliki orisinalitas dan karakter yang kuat.
So, kalau dikatakan komik Indonesia telah mati, itu nggak separuhnya benar. Karena sebenarnya, para komikus Indonesia aktif dalam berkarya. Mereka mengikuti pameran-pameran dan bermacam kegiatan lainnya untuk memperlihatkan hasil karya mereka kepada publik. Karya-karya mereka juga berkualitas, hanya saja jarang ada penerbit yang mau mengakomodirnya. Padahal, penerbit adalah salah satu faktor yang berperan penting dalam perkembangan dan kemajuan Industri komik Indonesia.
Yang Terus Bergerak
Walaupun komik Indonesia belum mendapatkan tempat dihati pembaca Indonesia, para komikus terus bertahan dan berkarya serta membentuk komunitasnya masing-masing. Contohnya, Akademi Samali. Komunitas komik Indonesia yang didirikan oleh Beng Rahardian, Hikmat Damarwan, dan Zarki ini berdiri pada Mei 2005. Seperti namanya, komunitas ini terletak di jalan Samali, Jakarta Selatan, Samali teguh menghadapi masalah lesunya perkomikan nasional. Untuk lebih eksis, mereka mencoba untuk membuka diri dari komunitas lain. Mereka mencoba untuk bekerja sama genga komunitas- komunitas seperti Ruangrupa (komunitas seni rupa dan video art), Boemboe (didistribusikan film pendek internasional), GEF (LSM Lingkungan), Bentara Budaya Jakarta, Dewan Kesenian Jakarta, Japan Foundation, Goethe Institut. Keeksisan Akademi Samali juga terlihat pada event-event yang telah diikuti. Sebut saja: Biennalle 2005 di Jakarta, Festival Tandakota (November 2007) dan Beinnalle Jogja (Desember 2007)), Pameran Komik Tuhan Dalam Komik, Festival Komik Indonesia Satu Dekade (Konde, dll.
Selain Samali, terdapat pula komunitas komik lainnya. Di antaranya Jogja Comic Society, KLAN Malang, Masyarakat Komik Solo, dan sebagainya. Semenjak diadakan Pameran Komik dan Animasi (PKAN) I tahun 1998, dan mulai dikenalkannya komunitas bernama Masyarakat Komik Indonesia (MKI), muncul kelompok-kelopok masyarakat komik yang terbagi kedalam bentuk-bentuk kelompok, seperti pembaca komik, kolektor komik, pengamat komik, komikus, milis komik, penerbit komik dan marketing komik.
Jepang Bisa, Kita...?
Memang masih berat bagi para komikus Indonesia untuk menggantungkan hidup dengan menjadi pembuat komik. Pasalnya, komik Indonesia memang belum mendapat tempat yang baik. Begitupun dari pihak penerbit. Mereka masih ragu untuk mempublikasikan karya-karya komikus lokal. Meskipun begitu, kian hari semangat komikus Indonesia semakin bertambah. Komikus Indonesia masih tetap berjuang untuk mempertahankan keeksisannya.
Jika ingin perkomikan Indonesia maju dan menjadi industri lapangan kerja baru, maka salah satu langkah yang tepat ialah mengetahui apa sebenarnya yang dicari pembaca komik yang sering bergerombolan membaca gratis di toko buku. Apakah benar mereka ingin membaca komik itu sendiri atau ada alasan lain? Apakah mereka pembaca komik yang sebenarnya? Dan, apa yang membuat mereka tertarik pada komik yang mereka baca? Dengan mengetahui kondisi pasar mungkin akan lebih mudah bagi para komikus dalam membuat sebuah komik yang dapat menarik perhatian pembaca.
Mungkin ada baiknya bila dalam menarik minat para pembaca Indonesia, para komikus membuat suatu tipe karakter yang menjual, seperti “MOE” di Jepang, yang khusus untuk karakter cewek. Atau, membuat sifat yang khusus pada karakter komik mereka sehingga mudah dikenal dan disukai. Misalnya, karakter Luffy dalam komik One Piece, yang punya kebiasaan makan banyak terus tidur, atau Naruto yang bodoh tapi super pemegang janji. Dengan menciptakan suatu karakter yang punya keunikan tersendiri, diharapkan, komik Indonesia akan menjadi lebih disukai. Hal-hal lain seperti desain karakter, meliputi pakaian, aksesoris, personality, setting, nilai-nilai budaya, teknologi dan segala macam hal yang berkaitan dan berhubungan dengan Indonesia, perlu ditentukan oleh para komikus lokal hingga akhirnya karakter yang terbentuk bakal mencerminkan kepribadian Indonesia.
Memasukkan nilai-nilai budaya Indonesia juga tak kalah pentingnya untuk membuat komik yang bernafaskan bangsa. Di Jepang, ada vestival hanami, disini ada tradisi mudik lebaran, acra lomba tujuh belas agustusan, karapan sapi, dan lain-lain. Kalau di Jepang ada samurai, katakana, di sini ada badik, celurit, golok, keris, kujang, mandau, rencong, dll. Di Jepang ada kastil-kastil peninggalan masa shogun, di sini ada keraton Yogyakarta, rumah adat, ada candi Borobudur. Di Jepang ada origami, di sini ada batik, wayang kulit, dan sebagainya.
Begitu kayanya budaya Indonesia. Jika buidaya ini disosialisasikan dengan baik ke dalam bentuk komik yang menarik, tentu nantinya anak-anak dan remaja sebagai konsumer komik yang utama dan berperan sebagai generasi penerus bangsa tak akan melupakan kebudayaan bangsanya. Sudah saatnya komik lokal bangkit dengan gaya dan pesannya sendiri! Jangan mau kalah dengan komik impor yang kepercayaan dan budayanya seting nggak cocok dengan bangsa kita! [berbagai sumber]
Kini, lebih banyak beredar komik-komik impor Jepang atau Amerika di Indonesia. Komik-komik ini tentunya menarik minat masyarakat, terutama kalangan anak-anak dan remaja. Akibatnya? Komik Indonesia mulai tak dikenal dan ditinggali oleh para pembaca. Jika anak-anak dan remaja Indonesia ditanya soal judul atau tokoh-tokoh dari komik lokal, mungkin hanya beberapa di antara mereka yang tahu dan yang pernah membacanya. Kebanyakan dari mereka lebih mengenal komik-komik luar negeri yang sudah diadaptasi ke dalam bahasa Indonesia. Hal ini membuktikan, secara spesifik, bangsa kita telah terjajah lagi oleh bangsa asing. Tidak secara fisik memang, namun diserang lewat budaya. Dan salah satunya gempuran itu bernama komik.
Jalan cerita komik impor, yang menurut banyak orang jauh lebih baik dari buatan Indonesia, diakui sebagai salah satu faktor yang memaksa komik lokal bertekuk lutut. Komik-komik seperti Naruto, One Piece, Death Note, dan serial cantik menyedot minat masyarakat muda saat ini. Sebaliknya, masyarakat nggak kenal dengan komik asal negeri sendiri. Meskipun banyak komikus berbakat, begitu juga dengan sejumlah karya komik yang sudah didistribusikan di toko-toko buku terkemuka, komik Indonesia masih belum memiliki tempat. Padahal, bila dilihat lebih rinci, sebenarnya komikus Indonesia memiliki kreativitas yang sudah berkembang dengan sangat baik. Bukan hanya membuat gambar yang layak, juga imajinasi cerita yang memiliki orisinalitas dan karakter yang kuat.
So, kalau dikatakan komik Indonesia telah mati, itu nggak separuhnya benar. Karena sebenarnya, para komikus Indonesia aktif dalam berkarya. Mereka mengikuti pameran-pameran dan bermacam kegiatan lainnya untuk memperlihatkan hasil karya mereka kepada publik. Karya-karya mereka juga berkualitas, hanya saja jarang ada penerbit yang mau mengakomodirnya. Padahal, penerbit adalah salah satu faktor yang berperan penting dalam perkembangan dan kemajuan Industri komik Indonesia.
Yang Terus Bergerak
Walaupun komik Indonesia belum mendapatkan tempat dihati pembaca Indonesia, para komikus terus bertahan dan berkarya serta membentuk komunitasnya masing-masing. Contohnya, Akademi Samali. Komunitas komik Indonesia yang didirikan oleh Beng Rahardian, Hikmat Damarwan, dan Zarki ini berdiri pada Mei 2005. Seperti namanya, komunitas ini terletak di jalan Samali, Jakarta Selatan, Samali teguh menghadapi masalah lesunya perkomikan nasional. Untuk lebih eksis, mereka mencoba untuk membuka diri dari komunitas lain. Mereka mencoba untuk bekerja sama genga komunitas- komunitas seperti Ruangrupa (komunitas seni rupa dan video art), Boemboe (didistribusikan film pendek internasional), GEF (LSM Lingkungan), Bentara Budaya Jakarta, Dewan Kesenian Jakarta, Japan Foundation, Goethe Institut. Keeksisan Akademi Samali juga terlihat pada event-event yang telah diikuti. Sebut saja: Biennalle 2005 di Jakarta, Festival Tandakota (November 2007) dan Beinnalle Jogja (Desember 2007)), Pameran Komik Tuhan Dalam Komik, Festival Komik Indonesia Satu Dekade (Konde, dll.
Selain Samali, terdapat pula komunitas komik lainnya. Di antaranya Jogja Comic Society, KLAN Malang, Masyarakat Komik Solo, dan sebagainya. Semenjak diadakan Pameran Komik dan Animasi (PKAN) I tahun 1998, dan mulai dikenalkannya komunitas bernama Masyarakat Komik Indonesia (MKI), muncul kelompok-kelopok masyarakat komik yang terbagi kedalam bentuk-bentuk kelompok, seperti pembaca komik, kolektor komik, pengamat komik, komikus, milis komik, penerbit komik dan marketing komik.
Jepang Bisa, Kita...?
Memang masih berat bagi para komikus Indonesia untuk menggantungkan hidup dengan menjadi pembuat komik. Pasalnya, komik Indonesia memang belum mendapat tempat yang baik. Begitupun dari pihak penerbit. Mereka masih ragu untuk mempublikasikan karya-karya komikus lokal. Meskipun begitu, kian hari semangat komikus Indonesia semakin bertambah. Komikus Indonesia masih tetap berjuang untuk mempertahankan keeksisannya.
Jika ingin perkomikan Indonesia maju dan menjadi industri lapangan kerja baru, maka salah satu langkah yang tepat ialah mengetahui apa sebenarnya yang dicari pembaca komik yang sering bergerombolan membaca gratis di toko buku. Apakah benar mereka ingin membaca komik itu sendiri atau ada alasan lain? Apakah mereka pembaca komik yang sebenarnya? Dan, apa yang membuat mereka tertarik pada komik yang mereka baca? Dengan mengetahui kondisi pasar mungkin akan lebih mudah bagi para komikus dalam membuat sebuah komik yang dapat menarik perhatian pembaca.
Mungkin ada baiknya bila dalam menarik minat para pembaca Indonesia, para komikus membuat suatu tipe karakter yang menjual, seperti “MOE” di Jepang, yang khusus untuk karakter cewek. Atau, membuat sifat yang khusus pada karakter komik mereka sehingga mudah dikenal dan disukai. Misalnya, karakter Luffy dalam komik One Piece, yang punya kebiasaan makan banyak terus tidur, atau Naruto yang bodoh tapi super pemegang janji. Dengan menciptakan suatu karakter yang punya keunikan tersendiri, diharapkan, komik Indonesia akan menjadi lebih disukai. Hal-hal lain seperti desain karakter, meliputi pakaian, aksesoris, personality, setting, nilai-nilai budaya, teknologi dan segala macam hal yang berkaitan dan berhubungan dengan Indonesia, perlu ditentukan oleh para komikus lokal hingga akhirnya karakter yang terbentuk bakal mencerminkan kepribadian Indonesia.
Memasukkan nilai-nilai budaya Indonesia juga tak kalah pentingnya untuk membuat komik yang bernafaskan bangsa. Di Jepang, ada vestival hanami, disini ada tradisi mudik lebaran, acra lomba tujuh belas agustusan, karapan sapi, dan lain-lain. Kalau di Jepang ada samurai, katakana, di sini ada badik, celurit, golok, keris, kujang, mandau, rencong, dll. Di Jepang ada kastil-kastil peninggalan masa shogun, di sini ada keraton Yogyakarta, rumah adat, ada candi Borobudur. Di Jepang ada origami, di sini ada batik, wayang kulit, dan sebagainya.
Begitu kayanya budaya Indonesia. Jika buidaya ini disosialisasikan dengan baik ke dalam bentuk komik yang menarik, tentu nantinya anak-anak dan remaja sebagai konsumer komik yang utama dan berperan sebagai generasi penerus bangsa tak akan melupakan kebudayaan bangsanya. Sudah saatnya komik lokal bangkit dengan gaya dan pesannya sendiri! Jangan mau kalah dengan komik impor yang kepercayaan dan budayanya seting nggak cocok dengan bangsa kita! [berbagai sumber]
Arifin dkk., “Komik Lokal. Mati, Sekarat, Sakit atau Lagi Berobat Jalan” Annida, Mei 2008, hlm. 28.
0 comments:
Post a Comment